REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Subuh menjelang suatu hari di Tanah Suci Makkah pada 2001. Di depan Ka'bah, jamaah umrah bersimpuh dengan sabar dan berdoa. Semua jamaah menunggu waktu shalat subuh. Tiba-tiba seorang sahabat, seorang direktur keuangan perusahaan bumbu masak asal Jepang dari Surabaya, berbisik. "Saya yakin, insya Allah Pak Mitra balik ke sini untuk berhaji."
Dia lantas membuka buku doa tawaf, kalau tak salah di putaran ketujuh . "Lihat nih," tunjuknya. "Ini doa, diijabah Allah." Artinya, "Ya Allah yang Mahaperkasa, berilah kami rezeki yang halal untuk kembali ke rumah-Mu." Sebagai Muslim beriman, Mitra percaya doa itu, yang kemudian dia aminkan harapan sahabatnya. Walaupun, menurut pikirannya, masalah dana berhaji plus sungguh mustahil didapatkannya untuk kembali ke Tanah Suci.
Sahabatnya itu selalu mengajaknya beribadah di waktu luang. Makanya, dia pun bisa mengumrahkan almarhum ayah, kakek, dan neneknya. Dengan mengendarai taksi, Mitra dan sahabatnya itu ke miqat di Tan'im atau Ji'rona untuk berihram dan kembali ke Masjidil Haram.
Dengan sesama rekan kameraman TV Nurjaman, dia juga pernah berniat mencium Hajar Aswad. Rupanya, pada pukul 03.00 dini hari, jamaah masih penuh membeludak. Namun, dengan sabar, mereka berhasil menjalankan niatnya.
Mitra Alamsyah berumrah pada Desember 2001, bertepatan Ramadhan 1422 hijriah. Umrah itu diikuti oleh rombongan sembilan kru televisi nasional yang diundang ke Tanah Suci. Biaya umroh saat itu dari biro perjalanan tersebut sangat tinggi menurut ukurannya.
Undangan itu untuk tugas meliput peresmian Hotel Intercontinental Dar El Tawhid. Namun, saat di Jeddah, kamera mereka disita aparat Arab Saudi, kecuali dari rekan televisi swasta. "Kami pun tak bisa meliput. Akhirnya, pengundang menyewa satu kamera yang dipakai bergantian. Bila wawancara, mikrofon yang on ke narasumber hanya satu, tapi yang terlihat ada 10 mikrofon TV Indonesia," kenangnya.
Saat kembali ke tanah air, mereka terkendala pengambilan kamera yang disimpan para petugas Arab Saudi di kantor pusatnya. Kepulangan pun tertunda. Staf lokal akhirnya membantu untuk negosiasi pengembalian kamera tersebut. Soalnya, sembilan kameramen mengancam tidak akan pulang ke Tanah Air tanpa kamera. Alhamdulillah, katanya, esoknya setelah boarding pass ditunjukkan, pihak berwajib menjanjikan pengembalian kamera. Itu pun baru dilakukan setelah rombongan naik ke pesawat.
Niat untuk berhaji selalu mewarnai hatinya. Dia dan istrinya lalu mendaftarkan diri untuk ke Tanah Suci. Saat menanyakan biayanya ke biro perjalanan haji, dia sungguh kaget. Biaya yang ditawarkan sekitar 8.500 dolar AS. Ada paket Perdana Tour yang nilainya 5.500-8.000 dolar AS.
Karena bertekad haji, dia meminta diskon dan dikabulkan dengan nilai 10 ribu dolar AS untuk berdua. "Uang muka saya bayar 1.000 dolar AS. Sisanya diangsur sampai Desember 2003. Cuma, saya bingung bagaimana melunasi 10 ribu dolar AS, padahal penghasilan waktu itu, ya pas-pasan saja."
Allah Maha Pemurah. Rezekinya mengalir seperti tak henti. Dana perjalanan ke daerah dikumpulkannya, juga uang bonus dan tunjangan lain-lain. Ongkos Naik Haji (ONH) lunas pada Oktober 2003. "Saya siap mental ke tanah suci, menjalankan rukun Islam kelima Februari 2004. Akhirnya, setelah tiga tahun dari umrah itu, doa dan harapan sahabat asal Surabaya itu makbul."
Sebelum berangkat, seorang ustaz memberi tausyiah. "Pak perbarui niatnya ke tanah suci itu untuk apa." Mendengarnya, dia pun terkesima. Dia mempertanyakan dirinya, apa benar niatnya itu karena Allah atau yang lain. Makanya, dia pun memperbaiki niatnya berhaji.
Adapula iming-iming dari manajemen kantor untuk menanggung ongkos haji bila dia ikut bertugas meliput. Bila dia setuju, uang 5.000 dolar AS bisa dihematnya dan tentu ada uang saku pula. Memang menggiurkan, tapi dia menampik tawaran itu. Meskipun sebagai wartawan, dia tetap membawa handycam untuk dokumentasi pribadi.
Selama di sana, ada berbagai peristiwa yang mengagetkan. Ada tabrakan masal antarjamaah di area pelemparan jumroh pada 1 Februari 2004 sekitar pukul 11.00 waktu setempat. Arab News menulis, 251 orang tewas terinjak-injak di lantai dua Jamarat. Tabrakan selama 30 menit itu memakan korban, di antaranya 54 jamaah Indonesia, 36 jamaah Pakistan, dan 13 jamaah Mesir.
"Saya abadikan situasi itu dengan handycam. Kejadian itu diliput semua. Bila pengawal mendekat, terpaksa kamera saya sembunyikan di balik baju," ungkap pensiunan kameraman televisi ini.
0 komentar:
Posting Komentar