Rabu, 19 Januari 2011

Gaby Gonzales: Amerika Membawa Saya pada Kebenaran Islam

REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES--Sama seperti keturunan Hispanik lainnya yang telah lebih dulu menjadi Muslim, Gaby Gonzales juga selalu menolak disebut mualaf. Menurutnya, dia tidak berpindah agama, tapi "pulang" pada agama yang dianut nenek-moyangnya. "Saya kembali pada Islam," ujarnya.


Menurutnya, jauh sebelum Islam asuk ke Amerika dan negara lain di dunia, Spanyol telah lebih dulu berada di bawah kekuasaan Islam selama hampir 800 tahun sebelum kerajaan Kristen Moor merebutnya pada tahun 1492. Dan sama seperti mualaf lainnya, ia menghidupkan tradisi masa lalu: memadukan nama Islam dengan nama asli mereka. Namun sehari-hari, ia lebih suka dipanggil dengan nama Islam; nama asli hanya untuk keperluan resmi.

Gaby lahir di Honduras, 20 tahun lalu. Di masa lalu, ia terfokus pada dirinya sendiri. "Saya tidak berpikir tentang orang lain, tentang orang tua saya, hanya saya dan lingkaran teman-teman saya," ujarnya. Sekarang, setiap hari ia berusaha untuk menjadi lebih baik, untuk melakukannya dengan baik, untuk membantu orang lain dan berhenti menjadi egois dan sombong.

Bahkan, ia mempunyai julukan baru di antara teman-teman kuliahnya di jurusan antropologi di Montclair State University: Suster Gaby. Pasalnya, ia kini berjilbab, dan jilbab warna giok hijau adalah favoritnya.

Gaby adalah salah satu dari ribuan Latin yang telah masuk Islam. Mualaf Latin beberapa tahun terakhir memadati banyak mesjid, termasuk beberapa di North Jersey. Bahkan, kini mereka mengorganisasi diri dengan embel-embel "Latino Muslim" dalam nama organisasinya. Bahkan, kini mulai dirintis penerbitan Alquran terjamah bahasa latin dan dai berbahasa Latin.


***

Seperti Hispanik banyak yang memeluk Islam, Gaby berasal dari keluarga Katolik yang saleh. Di Honduras, neneknya selalu memastikan bahwa ia benar-benar mengikuti aturan agama. "Nenekku akan mengamuk kalau aku tidak pergi ke gereja, kalau aku tidak membaca Alkitab hari itu. Akibatnya aku tak pernah berkembang secara alami," ujarnya.

Seperti remaja umumnya, di usia "memberontak", ia kerap berbenturan dengan aturan sang nenek. "Aku selalu stres, melakukan hal-hal saya tidak harus aku lakukan. Bila tersadar, aku akan selalu berdoa 'Tuhan, tunjukkan aku jalan-Mu yang lurus'," ujarnya.

Lepas dari SMA, ia melirik Amerika Serikat sebagai tempat menimba ilmu selanjutnya. Di negeri ini, ia bertemu teman dati berbagai bangsa dengan beragam latar belakang keyakinan.

Namun, ia mengaku hatinya tertambat pada Islam. Ilmu yang dipelajarinya barangkali sedikit banyak menyokong ketertarikannya; khususnya tentang peran Islam di abad pertengahan.

"Saya membaca lebih banyak tentang Islam yang saya ingin tahu. Untuk mengetahui apa yang menyebabkan begitu banyak orang untuk menyerahkan sepenuhnya kepada agama ini. Ketika saya membaca Quran, saya menemukan kebenaran itu berbicara tentang melayani orang lain, menempatkan orang lain terlebih dahulu.." ujarnya. Islam membuatnya merasa berlabuh.

Tapi belajar dari temantemannya yang telah lebih dulu menjadi Muslim, mereka "membayar mahal" untuk berpindah agama; antara lain dibuang keluarga. Mereka juga menjadi bahan ejekan dan peringatan oleh sesama Hispanik, apalagi bagi Muslimah yang bertukar penampilan juga.

Namun hatinya sudah mantap. Dan betapa beruntungnya dia, ketika akhirnya keluarganya menerimanya dengan hangat.

0 komentar:

Posting Komentar